Beberapa puluh tahun yang lalu, Pulau Lombok mulai diorbitkan untuk menjadi destinasi wisata tandeman tetangganya, Pulau Bali. Kala itu orang mulai mencari alternatif lain selain Bali yang dinilai mulai overcrowded. Tentu saja karena letaknya yang berdekatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat digadang-gadang menjadi “the next destination“-nya Bali. Menjadi primadona pada masanya, salah satu destinasi yang diproyeksikan adalah Pantai Senggigi. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana iklan di salah satu maskapai milik pemerintah pada tahun 1990-an yang mempromosikan Pantai Senggigi sebagai tujuan wisata. Berbekal ekspektasi tersebut, saya pun sengaja menjadikan pantai yang berjarak sekitar 50 km dari bandara Lombok Praya tersebut sebagai transiting spot sebelum bertolak menuju Gili Trawangan, karena letaknya memang sejalur dengan rute menuju ke dermaga untuk mencapai Gili. Bila memulai perjalanan dari bandara, kita bisa menggunakan travel atau bus umum. Untuk pilihan travel, perusahaan dan jam yang tersedia cukup banyak, kok. Bila ingin menggunakan bus, di bandara Lombok Praya juga tersedia bus Damri, tapi membutuhkan effort lebih untuk mencapai Senggigi, karena harus transfer bus juga. Daripada ribet, akhirnya saya memilih travel saja.

Waktu tempuh dari bandara menuju Senggigi berkisar 2 jam. Di sepanjang perjalanan kita bisa melihat pemandangan alam NTB yang terdiri dari savannah hingga pantai yang cakep-cakep. Melihat hamparan savvanah, saya langsung nostalgia kepikiran Taman Nasional Baluran, hehe. Sekitar sore hari, akhirnya saya pun tiba di daerah Senggigi dan diturunkan tepat di depan penginapan saya. Setelah check in dan melakukan pemesanan travel untuk perjalanan saya ke pelabuhan besok, saya lanjut melakukan eksplorasi daerah sekitar. Sore itu di tepi laut terdapat beberapa perahu nelayan dengan latar belakang sunset. Sambil menyeruput air kelapa, yang banyak dijajakan di pinggir pantai, dan diiringi sepoi-sepoi angin laut serta suara ombak, saya pun menikmati petang di Lombok. Di kejauhan tampak anak-anak berkejar-kejaran dengan ombak Selat Lombok. Namun sayang, keindahan pantai ini ternodai dengan banyaknya sampah. Seperti masalah umum di negara kita, bukan? Kalau di tempat-tempat bagus, sering sekali ada sampah berserakan. Pokoknya sayang sekali rasanya kalau pantai sebagaus Senggigi harus ternodai oleh sampah yang berserakan. Entah saya yang datang pas lagi bukan high season atau bagaimana, yang jelas saya merasa hype-nya belum seperti pantai-pantai di Bali. Pasir pantainya juga tidak yang mulus halus dan putih seperti beberapa pantai di pulau sebelah. Kabar baiknya, di tepi pantai banyak penjual yang menjajakan makanan dan minuman. Lumayan lah, bisa menemani kita sambil menyaksikan pantai di sisi timur pulau Nusa Tenggara Barat ini.




Pada hari itu, sore pun berganti malam, dan saya melanjutkan mengeksplorasi daerah sekitar. Ternyata kehidupan malam hari di sini juga belum seperti provinsi tetangganya. Hanya tampak beberapa bar dan tempat makan yang buka pada saat itu. Memang saat itu tampak beberapa turis asing, tapi jumlah mereka sangat bisa dihitung menggunakan jari. Sekali lagi, bila dianggap sebagai kontender pantai-pantai di Bali, menurut saya Senggigi belum sampai di level tersebut. Namun, dengan sedikit pembenahan menurut saya pantai ini memiliki potensi besar, karena tempatnya memang lumayan cozy untuk menghabiskan waktu saat sunset sambil menyaksikan aktivitas warga. Apapun itu, setelah menghabiskan makan malam saya kembali ke penginapan untuk mempersiapkan perjalanan ke Gili Trawangan. Sampai jumpa, Senggigi!

No responses yet