Berbicara tentang keindahan alam negara kita, rasanya nggak akan ada habisnya, ya. Mau di daerah mana pun, pasti ada aja tempat yang cakep. Saya sendiri saksi mata keindahan Bukit Jamur di Kabupaten Bengkayang ini. Mungkin banyak yang belum pernah mendengar tempat ini. Saya mengetahui tempat ini gara-gara berdinas di Sambas. Berawal dari hasrat yang tak terpendam untuk mendaki (*sok iye banget), saya pun meminta saran untuk tempat mendaki di Kalimantan Barat bagian utara. Dan dari kebanyakan orang merekomendasikan bukit yang terletak di Kabupaten Bengkayang ini. Untuk mencapainya, kita bisa berangkat dari Kota Singkawang atau Sambas dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Tapi saya merekomendasikan sepeda motor karena tempat parkir yang tersedia cukup sempit. Perjalanan dari Kota Singkawang menuju bukit berketinggian sekitar 500 mdpl ini akan memakan waktu sekitar 2-3 jam. Sedangkan dari Kota Sambas, jarak tempuh sekiatar 100 km akan memakan waktu sekitar 2-3 jam juga. Kalau dari ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Kota Pontianak, maka jarak tempuhnya sekitar 160 km, dengan estimasi masa perjalanan sekitar 4-5 jam. Mungkin terdengar cukup jauh, namun selama perjalanan kita akan melewati hutan-hutan yang rindang. Sayangnya untuk penerangan di beberapa titik masih kurang baik, jadi kalau sore atau malam hari akan sangat gelap di sini. Untuk kondisi jalan bervariasi, ada beberapa bangian yang mulus, tapi tidak sedikit juga yang berlubang. Sebelum melanjutkan perjalanan, kita bisa juga transit di Kota Bengkayang yang merupakan kota terbesar di Kabupaten Bengkayang. Dari ibu kota kabupaten tersebut, jarak tempuh ke Desa Bhakti Mulya, tempat kaki Bukit Jamur berada, akan menghabiskan waktu sekitar 15-20 menit saja.
Saat itu adalah tengah hari, dan kami pun sampai di desa yang berada di kaki Bukit Jamur. Setelah menitipkan motor kami di lahan milik penduduk setempat, kami pun mulai menyusuri jalan setapak yang menuju ke bukit. Bagi yang kurang yakin untuk mendaki di sini, bisa juga meminta bantuan jasa guide dengan penduduk setempat. Pendakian menuju puncak memakan waktu sekitar 2-3 jam dengan medan yang cukup landai pada awal hingga tengah pendakian. Jalan setapaknya juga cukup jelas, beda banget dengan Gunung Ranai yang ibarat “membuka jalur”. Namun yang lumayan sulit adalah jalan di akhir pendakian, yang mana akan terdapat satu titik yang curam. Di sini kita bergantung pada seutas tali tambang , yang entah siapa yang memasangnya, untuk membantu melewati medan yang di kanan kirinya terdapat jurang ini. Menurut saya inilah tantangan terbesar dari pendakian ini. Tapi semuanya akan langsung terbayar lunas tanpa hutang saat kita sampai di puncak. Dari sini akan terlihat bird’s eye view Kota Bengkayang yang dikelilingi hutan-hutan. Di puncak bukit ini ada beberapa area landai yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Bersama kami saat itu juga ada beberapa pendaki dari Pontianak yang sudah mendirikan tenda. Ternyata bukit ini cukup populer di kalangan masyarakat Kalimantan Barat, bahkan sering dijadikan destinasi oleh para kelompok pencinta alam.

Saat itu hari sudah sore, dan setelah mendirikan tenda, kami pun memasak perbekalan kami. Namun sayangnya waktu itu cuaca kurang bersahabat, sehingga pemandangan tertutup kabut, dan sempat diselingi hujan lebat. Sebenarnya waktu yang cocok untuk mendaki bukit ini adalah musim kemarau, yaitu berkisar bulan Juni-Agustus. Dan saat itu kami berkunjung pada bulan Maret, yang dikatakan musim peralihan. Benar saja, kondisi cuaca di atas beralih-alih dari hujan ringan dan diselingi hujan angin. Pokoknya labil banget cuacanya!



Barulah pada saat menjelang tengah malam hujan berhenti, dan perlahan-lahan awan mulai bergerak menjauhi puncak bukit. Langit pun seakan membuka rahasianya. Ya, karena jauh dari perkotaan, di sini gugusan bintang bisa terlihat jelas. Sangat disayangkan kamera saya burik, jadinya hasil jepretannya hitam legam saja. Ah, memang beberapa momen harus dinikmati di tempat saja, ya.

Selepas tengah malam, entah kenapa banyak rombongan yang baru saja tiba. Usut punya usut, ternyata banyak juga pendaki yang tektok, terutama mereka yang berasal dari Bengkayang. Semakin menjelang dini hari suasana di atas bukit semakin ramai dengan pendaki yang satu per satu mulai berdatangan. Sayangnya beberapa pendaki bahkan membuat keonaran dengan adanya cekcok. Tapi alam seakan memiliki sejuta cara untuk melerai mereka. Menjelang jam 3 dini hari, puncak pun kembali diguyur hujan angin. Sebetulnya saya sudah pasrah nggak bisa melihat sunrise di pagi hari, tapi saat itu Dewi Fortuna sedang berpihak pada kami. Entah karena oknum-oknum tadi sudah saling memaafkan apa bagaimana, yang jelas menjelang pagi hari hujan angin pun berhenti dan kami pun keluar dari tenda. Dan inilah yang kami saksikan…


Walaupun pagi itu tertutup kabut, Bukit Jamur tetap memamerkan pesonanya, bahkan menambah kesan mistis. Sebetulnya kalau cuaca bersahabat, kita bisa menyaksikan negeri di atas awan. Inilah yang menjadi daya tarik bukit ini, yaitu dengan ketinggian sekitar 500 mdpl saja, kita sudah bisa menikmati pemandangan negeri di atas awan seperti yang dimiliki oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi lainnya. Namun saat itu kami tetap bersyukur karena mampu menyelesaikan pendakian dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun. Karena bagi saya alam tetap alam, dan tidak ada gunung yang bisa dianggap remeh.


Dan kami pun bisa dengan lantang mengucapkan “Bukit Jamur expedition: done!”

No responses yet